Batuk rejan, atau yang secara klinis dikenal sebagai pertusis, adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang sangat menular dan dapat berakibat fatal, terutama pada bayi. Di balik penyakit yang ditandai dengan batuk paroksismal yang khas ini, terdapat satu agen kausatif utama: bakteri bernama Bordetella pertussis. Bakteri ini merupakan patogen yang sangat beradaptasi dengan inang manusia, memiliki serangkaian mekanisme canggih untuk menginfeksi, bertahan, dan menyebar (Mattoo & Cherry, 2005).
Karakteristik Biologis Bordetella pertussis
Bordetella pertussis adalah bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus (bulat-batang) yang berukuran sangat kecil. Bakteri ini bersifat aerobik obligat, yang berarti ia mutlak membutuhkan oksigen untuk tumbuh dan berkembang biak. Salah satu ciri khasnya adalah pertumbuhannya yang sangat lambat dan rewel (fastidious) di laboratorium, memerlukan media perbenihan khusus yang diperkaya seperti Regan-Lowe atau Bordet-Gengou agar. Secara ekologis, B. pertussis adalah patogen eksklusif manusia dan tidak ditemukan pada hewan atau lingkungan (Todar, 2020).
Mekanisme Infeksi dan Faktor Virulensi
Kemampuan B. pertussis untuk menyebabkan penyakit yang parah terletak pada persenjataan faktor virulensinya yang kompleks. Faktor-faktor ini bekerja secara terkoordinasi untuk memungkinkan bakteri menempel pada sel inang, menghindari sistem kekebalan tubuh, dan menyebabkan kerusakan jaringan lokal maupun sistemik.

Penularan dan Kolonisasi
Penularan terjadi dari orang ke orang melalui droplet pernapasan yang dikeluarkan saat batuk atau bersin. Setelah terhirup, bakteri tidak menginvasi aliran darah, melainkan secara spesifik menempel pada sel epitel bersilia di saluran pernapasan atas, seperti trakea dan bronkus. Proses penempelan ini dimediasi oleh protein adhesin di permukaan bakteri, seperti Filamentous Hemagglutinin (FHA) dan pertaktin (PRN), yang berfungsi seperti jangkar molekuler (Mattoo & Cherry, 2005).
Peran Sentral Toksin Pertusis (PT)
Setelah menempel, B. pertussis mulai memproduksi dan melepaskan berbagai macam toksin, di antaranya yang paling kuat adalah Toksin Pertusis (PT). Toksin ini adalah kunci patogenesis pertusis. PT masuk ke dalam sel-sel inang dan mengganggu jalur sinyal G-protein, yang menyebabkan berbagai efek. Salah satu akibat utamanya adalah lumpuhnya respons sel-sel imun, sehingga bakteri dapat berkembang biak tanpa hambatan.

Selain itu, PT juga berkontribusi pada peningkatan sekresi lendir dan batuk paroksismal yang menjadi ciri khas penyakit ini. Toksin lain seperti adenylate cyclase toxin juga membantu melumpuhkan sel fagosit dan memperparah kerusakan (Hewlett & Edwards, 2018).
Manifestasi Klinis: Tiga Tahap Batuk Rejan
Penyakit pertusis berkembang melalui tiga tahap klinis yang dapat dibedakan dengan jelas:
- Tahap Kataral (1-2 minggu): Tahap awal ini menyerupai flu biasa, dengan gejala ringan seperti pilek, demam ringan, dan batuk sesekali. Pada tahap inilah penderita sangat menular.
- Tahap Paroksismal (2-6 minggu): Gejala berkembang menjadi batuk yang parah, cepat, dan tidak terkendali (paroksisme). Pasien akan mengalami serangkaian batuk keras yang diakhiri dengan tarikan napas panjang dan melengking (whoop) saat berusaha menghirup udara. Episode ini bisa menyebabkan muntah dan kelelahan ekstrem. Tahap ini sangat berbahaya bagi bayi, yang mungkin mengalami apnea (berhenti napas) alih-alih batuk.
- Tahap Konvalesen (beberapa minggu hingga bulan): Batuk secara bertahap mereda dalam frekuensi dan keparahan, namun batuk ringan dapat bertahan selama berbulan-bulan seiring dengan pemulihan saluran pernapasan.
Diagnosis, Pencegahan, dan Pengobatan
Diagnosis dini dan pencegahan adalah kunci dalam mengendalikan pertusis. Mengingat risiko tertinggi ada pada bayi dan anak-anak, program imunisasi menjadi fondasi utama kesehatan masyarakat.
Diagnosis Laboratorium dan Terapi
Standar emas untuk diagnosis pertusis saat ini adalah melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dari usap nasofaring, yang sangat sensitif dan cepat. Kultur bakteri masih bisa dilakukan tetapi seringkali gagal karena sifat bakteri yang rewel dan pengaruh antibiotik sebelumnya. Pengobatan utama adalah dengan antibiotik golongan makrolida (seperti azitromisin), yang paling efektif jika diberikan pada tahap kataral untuk mengurangi keparahan dan durasi penularan (CDC, 2021).
Fondasi Pencegahan: Vaksinasi
Pencegahan paling efektif adalah melalui imunisasi. Vaksin yang digunakan adalah vaksin aselular (DTaP untuk anak-anak, dan Tdap sebagai booster untuk remaja dan dewasa). Vaksin ini mengandung komponen protein murni dari bakteri, termasuk Toksin Pertusis yang sudah tidak aktif. Karena imunitas dari vaksin maupun infeksi alami dapat menurun seiring waktu, suntikan booster sangat direkomendasikan, terutama bagi orang dewasa yang sering berinteraksi dengan bayi (misalnya, orang tua, kakek-nenek, dan petugas kesehatan) untuk menciptakan strategi “kepompong” (cocooning) yang melindungi populasi paling rentan.
Daftar Pustaka
- Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Pertussis (Whooping Cough): Diagnosis and Treatment. Diakses dari situs CDC.
- Hewlett, E. L., & Edwards, K. M. (2018). Pertussis — Not Just for Kids. New England Journal of Medicine, 378(21), 2043–2045.
- Mattoo, S., & Cherry, J. D. (2005). Molecular pathogenesis, epidemiology, and clinical manifestations of respiratory infections due to Bordetella pertussis and other Bordetella subspecies. Clinical microbiology reviews, 18(2), 326–382.
- Todar, K. (2020). Todar’s Online Textbook of Bacteriology. “Bordetella pertussis and Whooping Cough”.